Welcome

Met dateng di Napekah Tasarahai...

Sabtu, 20 Februari 2010

RASIO DAN RASA

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan tugasnya itu, manusia diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Potensi akal dapat menghasilkan ilmu nomotetikal, atau hukum-hukum sebab-akibat. Hal ini dapat digunakan untuk memikirkan, merenungkan, dan merumuskan berbagai konsep, pemikiran, dan langkah-langkah praktis untuk kemajuan manusia. Sedangkan potensi kalbu dapat menghasilkan ilmu rasa, atau ilmu normatif yang digunakan untuk mengarahkan manusia pada sesuatu yang baik. Dua alat ini akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya merupakan hal yang penting dan harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan.
Akan tetapi, dalam perkembangannya selama ini, penggunaan dua alat ini tidak seimbang. Pada umumnya rasio dianggap sebagai hal penting sedangkan rasa hanya dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat keberadaan dari rasio. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.

Hal inilah yang menjadi dasar permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu perkembangan rasio dan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.




B. Hubungan Ilmu, Rasio, dan Rasa
Salah satu ciri atau sifat manusia adalah keingintahuannya terhadap apa yang ditanggapi oleh panca indera, terutama indera penglihatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Soewardi (1999: 275) mengemukakan ilmu rasio atau nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat: ...sebab akibat ini juga disebut kausalitas. Kausalitas adalah keperilakuan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Kausalitas disebut pula sunnatullah, ketetapan Tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang menjadi pegangan bagi manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Misalnya, hubungan kausalitas dapat terlihat pada kenyataan yang ada di sekitar kita, ada asap pasti ada api, jika air dipanaskan akan menguap, dan kayu kering akan terbakar jika dikenai api. Segala sesuatunya selalu ada hubungan kausalitas. Akan tetapi, bagaimana cara mengambil suatu simpulan mengenai suatu kenyataan yang tidak selalu memiliki hubungan kausalitas, misalnya Nabi Ibrahim a.s yang dibakar dengan api, tetapi tidak terbakar hangus, melainkan merasa sejuk saat dibakar. Di sini dapat terlihat keterbatasan manusia di sisi-Nya. Ini disebabkan oleh kemampuan manusia yang dapat disketsa dengan satu tanda titik kecil, sedangkan jagat raya sangat luas. Sulit sekali untuk mengungkap setiap rahasia jagat raya dengan keterbatasan pada diri manusia.
 


kemampuan                                                                   jagat raya
manusia



Sketsa keterbatasan alam pemikiran manusia terhadap jagat raya
Dalam perkembangannya rasio selalu mendominasi dalam perkembangan pengetahuan sain. Pengetahuan sain merupakan suatu hal yang rasional dan empiris. Sesuatu dapat dikatakan rasional apabila dapat diterima oleh akal pemikiran manusia yang didasarkan pada rasio. Corak berpikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur logis seperti ini di dalam filsafat dikenal sebagai rasionalisme. Aliran yang memandang bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Oleh karena itu, rasio dianggap sebagai alat yang penting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Sehingga ada sebagian yang menyatakan bahwa rasio sebagai suatu potensi akal menjadi sumber kebenaran yang mengatur manusia dan alam. Jadi, sesuatu yang masuk akal (logis) dianggap benar dan sesuatu yang di luar dari akal (tidak logis) dianggap tidak benar (salah).
Perkembangan ilmu yang didominasi oleh rasio dikenal dalam ilmu di Barat (modern). Ilmu yang memisahkan diri dari rasa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.

Pemisahan dari rasa menyebabkan manusia semakin lama semakin besar menaruh kepercayaan terhadap kemampuan rasio (potensi akal). Akibatnya, kepercayaan yang bersifat dogmatis, tata-susila yang bersifat tradisi, dan segala sesuatu yang tidak masuk dalam pemikiran, keyakinan, maupun anggapan manusia ditiadakan. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui potensi akal saja yang dianggap memenuhi syarat dan menjadi tuntutan oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya digunakan untuk mengukuhkan keberadaan dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Bakhtiar (dalam Kusasi, 2005: 4) menyatakan mengenai keberadaan asumsi ini yang dianggap benar apabila sebab-akibat memiliki hubungan yang rasional.
Jadi, antara ilmu dan rasio memiliki kaitan yang sangat erat, apalagi di dalam ilmu Barat. Sain dianggap sebagai hasil dari potensi akal. Dalam hal ini sain terlepas dari rasa karena sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan, indak atau jelek. Sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Manusia yang diberi potensi akal (rasio) dan potensi kalbu (rasa) oleh Tuhan, akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, rasio harus diimbangi pula dengan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.
Rasa adalah tangkapan dari stimulus yang direspon oleh otak melalui panca indera sehingga menimbulkan penafsiran-penafsiran sesuai dengan terjemahan dari hasil respon yang melahirkan makna. Suryabrata (1995: 66) mengemukakan pengertian perasaan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif dan pada umumnya berkaitan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kausalitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perasaan akan menimbulkan pengetahuan tentang idealisme, kemanusiaan (kasih sayang), estetika (keindahan), etika, dan moralitas. Dengan kata lain, rasa menimbulkan nilai-nilai yang akan berlaku di tengah-tengah kehidupan manusia.
Rasa dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu biasa, hati nurani, dan rasa yang disucikan. Rasa pada peringkat biasa banyak membantu dalam tugas sehari-hari seperti pada pemain musik, pengemudi, koki (tukang masak), Ibu rumah tangga, dan sebagainya. Peringkat hati nurani digunakan misalnya oleh ahli-ahli hukum (hakim). Penetapan suatu vonis harus ditunjang oleh data-data harus ditunjang oleh hati nurani dalam menetapkan salah dan benarnya seseorang. Sedangkan perangkat ketiga adalah rasa yang disucikan seperti pada para sufi atau tasawuf amali dalam mendekatkan diri pada Tuhan.












Iktisar macam-macam perasaan menurut Bigot (1950, p. 534)
 
Bigot (dalam Suryabrata 1995: 66-69) memberikan ikhtisar mengenai macam-macam perasaan.
1. perasaan indriah
2. perasaan vital
 
1. perasaan intelektual
2. perasaan kesusilaan
3. perasaan keindahan
4. perasaan sosial
5. perasaan harga diri
6. perasaan keagamaan
 
 









a.   Perasaan-perasaan jasmaniah (rendah):
(1) perasaan indriah adalah perasaan yang berhubungan dengan rangsangan terhadap panca indera seperti manis, asin, pahit, panas, dan sebagainya.
(2)  perasaan vital adalah perasaan yang berhubungan dengan keadaan jasmani pada umumnya seperti sehat, lemah, segar, letih, dan sebagainya.
b.   Perasaan-perasaan luhur (rohaniah):
(1)  perasaan intelektual adalah perasaan yang berkaitan dengan kemampuan intelek dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Misalnya, perasaan senang karena hasil ujiannya memperoleh nilai yang baik.
(2)  perasaan kesusilaan adalah perasaan tentang baik-buruk. Misalnya, rasa puas setelah melakukan kebaikan pada orang lain.
(3)  perasaan keindahan adalah perasaan yang menyertai atau timbul karena adanya pemaknaan terhadap sesuatu yang indah maupun tidak indah.
(4)  perasaan sosial adalah perasaan yang mengikat individu dengan sesamanya, perasaan untuk hidup bermasyarakat, tolong-menolong, dan sebagainya.
(5)  perasaan harga diri adalah perasaan yang berkaitan dengan diri seseorang. Misalnya, merasa direndahkan karena dicela maupun merasa bangga karena mendapat pujian.
(6)  perasaan keagamaan adalah perasaan yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya, rasa kagum akan kebesaran ciptaan Tuhan, rasa syukur, dan lain sebagainya.

Sain pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan membantu kehidupan manusia agar menjadi lebih baik dan mencapai kebahagiaan. Dalam kaitannya dengan rasio, rasa juga ikut berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini dikenal istilah sain bebas nilai dan sain terikat nilai. Sain bebas nilai tidak memasukkan rasa di dalam penerapannya misalnya pada perkembangan sain dalam ilmu di Barat. Berbeda halnya dengan sain terikat nilai yang memasukkan rasa dalam penerapan ilmu pengetahuan, sehingga sain berkembang dalam satu wadah yang dibatasi oleh nila-nilai yang telah ada di masyarakat, tempat sain berkembang dan diterapkan. Adat Timur banyak yang memegang sain terikat nilai. Akan tetapi, hal ini bukan menjadi penghambat dalam perkembangan sain sepanjang masa. Ilmu di Timur tidak mengikat perkembangan sain, melainkan mengikat penerapannya. Dengan begitu, perkembangan sain tetap disesuaikan dengan nilai-nilai yang tetap ada di masyarakat. Paling tidak, dengan adanya nilai-nilai tersebut, keberadaan sain tidak menjadi sesuatu yang menyebabkan keresahan dan kerusakan di masyarakat.




Ilmu Nomotetikal
Ilmu rasio atau ilmu nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat: segala sesuatu memerlukan penyebab agar maujud: “ada asap pasti ada apinya”. Sebab-akibat ini disebut kausalitas. Kausalitas adalah keperluan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Sulit kita bayangkan bila hukum sebab-akibat itu tak ada di alam empirik, di mana kita hidup ini.
Kausalitas disebut pula sunnatullah, ketetapan tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya ini. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang merupakan pegangan bagi manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah.
Namun, hukum sebab-akibat yang berlaku bagi alam dan bagi manusia tidaklah terlalu sama. Tuhan menciptakan jagat raya sebagai suatu ‘order’ (kosmos) dengan ketundukan 100% terhadap sunnatullah. Hal ini tampak pada Q.S. Al-Fushilat: 11 yang artinya
“kemudian dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia berkata kepadanya dan kepada Bumi: datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan sukahati atau terpaksa”, keduanya menjawab: Kami datang dengan sukahati.
Manusia berupaya memahami “order” tersebut. Newton mencobanya, namun “order Newtonian” itu ‘diruntuhkan’ oleh para ilmuwan pasca-Newtonian. Mereka berhasil meruntuhkan, tapi apa gantinya? Belum ada yang memuaskan. Bagaimana kiranya sunnatullah bagi manusia? Hal ini tampak pada Q.S. Al-Kahfi:29, yang artinya:
“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yamh ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Tuhan memberikan pada manusia keleluasaan untuk membuat pilihan (choice), tentunya dengan segala konsekuensinya. Maka, keperluan manusia itu tidak terlalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal terhadapnya, tetapi kekuatan internal pun yang berpengaruh terhadap pilihannya. Dan ketentuan ini kita bisa bandingkan “grand theory” di bidang Sosiologi, mana yang lebih cocok dengan wacana Al-Qur’an. Teori Struktural-Function (dari Parson, Merton, dkk) meletakkan kekuatan pada struktur dan fungsi, maka manusia itu hanyalah dipandang sebagai “sekrup” saja. ia tidak ubanya seperti batu yang didorong kekiri atau ke kanan, dan tak berdaya apa-apa. Namun sebaliknya, teori Behaviorism (G. Harbert Mead) sangat memandang bahwa orang melihat sekelilingnya dengan ‘meaning’ dan ‘attitude’ menurut pandangannya, maka ia mampu membuat keputusannya (choice) berdasarkan pandangannya itu. Maka teori Mead lebih cocok dengan Al-Qur’an daripada teori Parson/Merton.
Namun yang menjadi pertanyaan itu adalah: Benarkah di alam empirikal itu ada sebab-akibat? Al-Gazali mengakui adanya regularitas, karena regularitas adalah kebiasaan Tuhan. Tapi yang dipermasalahkannya ada kekuatan yang menimbulkan akibat dari sebab itu. Ia memandang bahwa kekuatan itu adanya pada Tuhan, sehingga akibat akan terjadi atau tidak tergantung pada Tuhan, apakah kekuatan itu akan diberikan atau tidak. Sebab bila kekuatan itu ada pada benda-benda, maka menurut Al-Ghazali Tuhan bertindak “self-contradictory”. Maka kekuatan itu tidak terdapat pada benda-benda. Pandangan yang sekarang berlaku, seperti pandangan Kant yang mengagumi deterministik Newton, kekuatan-kekuatan itu telah di-selegation of authority-kan. Maka kekuatan itu tidak terdapat pada benda-benda.
Namun seperti yang telah dikatakan Tanmas di muka, certainties kini telah ...dan orang cenderung untuk stokastik. Demikian juga penemuan tentang uncertainty principle.
Dunia Rasa
Kita dapat menggolongkan rasa pada tiga tingkatan, yaitu biasa, hati nurani (conscience), dan rasa yang disucikan. Rasa peringkat biasa banyak membantu kita dalam tugas sehari-hari. Pengemudi, pemain musik, dokter, negarawan, dsb, tidak akan mampu melaksanakan tugasnya bila tidak dibantu oleh rasa. Semuanya menggunakan judgement, baik tanpa maupun dengan bantuan alat. Peringkat hati nurani yang digunakan misalnya oleh ahli-ahli hukum, seorang hakim. Dalam menetapkan vonis, data-data harus ditunjang dengan hati nurani dalam menetapkan apakah seseorang itu salah atau benar, berhak atau tidak berhak. Adapun peringkat ketiga, yaitu rasa yang disucikan, terdapat misalnya pada sufi, atau tasawuf amali, dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan
Pembagian dunia rasa
(1) idealisme irrasional
berkembang pada abad ke-19, disebut idealisme negatif atau idealisme irrasional. Idealisme ini tidak memandang dunia melalui kemampuan rasional, tetapi melalui kegiatan keinginan, sebagai landasan untuk menerangkan seperti apa wujud dunia ini. Tokohnya adalah Schopenhauer yang mengemukakan bahwa sains hanya mampu menerangkan secara matrealistis segala fenomena. Ia percaya bahwa dunia sebagai idea hanya merupakan manisfestasisuperfisial, begitupun dengan eksistensinya. Maka haruslah ada benda itu sendiri yang menjadi substratumdari yang bersifat superfisial itu. Substratum ini tidak lain adalah keinginan.
Pelanjut Schopenhauer adalah Nietzsche. Ia juga memandang keinginan sebagai fakta dasar dari manusia. Realisasi daripadanya ada dua macam: keinginan manusia yang diekspresikan secara kalem, dan yang diekspresikan secara passionate. Ia mengutuk semua agama, khususnya agama nasrani. Dikatakan bahwa Tuhan telah mati.
(2) etika dan hukum
Etika ialah pembahasan mengenai baik, buruk, benar, dan salah. Yang paling menonjol ialah tentang baik dan teori tentang kewajiban. Keduanya bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral.
-          baik adalah baik padanya sendiri (good in itself), bukan baik untuk satu tujuan tertentu (suatu alat untuk mencapai suatu tujuan).
-          Kesenangan (happines) adalah suatu yang baik. Maksudnya ialah untuk menghasilkan kesenangan (pleasure) terbesar. Kebalikannya adalah rasa sakit hati (pain). Secara umum orang menyenangi kejujuran (honesty) dan keadilan (justice).
-          Juga dipercayai bahwa ketinggian moral adalah satu-satunya sifat baik. Utilitarianisme/hedoisme adalah memaksimalisasikan kesenangan dan meminimalisasikan rasa sakit. Namun rasa senang ini hanya dibenarkan oleh moral.
-          Kewajiban atau obligation: yang dipermasalahkan adalah mengapa suatu tindakan itu wajib dilakukan. Diperkirakan bahwa yang menghasilkan kebaikan itu wajib dilakukan. Berbohong dalam keadaan apapun dalam masyarakat Barat tidak dibenarkan, karena orang tidak akan percaya lagi.
-          Hukum. Hukum berlandaskan pada moral. Moral harus menjadi hukum dengan mengundangkanya. Dalam islam terjadi jalinan yang erat antara etika atau moral, agama dan hukum. Namun, di negara-negara sekuler, hal itu tidak demikian terjalin erat. Hukum tumbuh di dalam masyarakat secara alami. Penakluk bisa memasukkan hukumnya kepada masyarakat yang mereka taklukkan.
Motivasi dan sanksi: ada dua hal yang terjadi pada diri manusia, jalan keterpujian dan keterkutukan. Yang pertama diganjar, dan yang kedua dihukum. Keterpujian juga merupakan motivasi bagi orang untuk bergerak. Kini di dalam masyarakat kita yang disebut keterpujian ialah keberhasilan mengumpulkan materi (harta) sebanyak-banyaknya, tanpa melihat bagaimana harta itu dikumpulkan.

(3) estetika atau keindahan
berbicara tentang estetika atau keindahan, maka kita menghadapi dua hal, yaitu: (1) pengalaman seni (atau selera); dan (2) upaya untuk mengerti tentang keindahan. Yang disebut pertama bersifat subjektif, sedangkan yang kedua disebut objektif, dan berupaya meningkatkan diri menjadi sains. Namun mengingat sifatnya, ialah kesulitan dengan dengan pengukuran yang eksak dan pembuktian logis, mungkin tak akan sampai ke situ.
Ke dalam lingkup yang objektif itu ada dua upaya, yaitu teori tentang persepsi dari pada keindahan dan prinsip-prinsip seni (art), yang terpisah satu sama lain, akan tetapi berkerabat. Adapun persatuan dari keduanya hanya dapat dipahami sebagai kreativitas manusia yang tujuannya untuk mewadahi keindahan. Di bidang estetika modern terdapat terdapat kegiatan-kegiatan: (1) klasifikasi secara sistematis tentang seni; (2) morfologi tentang estetika; (3) teori sejarah seni (hipotesis tentang kecendrungan pokok); dan (4) pola-pola hubungan kausal pengaruh-mempengaruhi antara seni dan kebudayaan.
Rasa indah bersifat spritual dan gaib, merupakan manifestasi dari idea yang langgeng dan dapat mengungkapkan kebenaran ilahi. Oleh karena itu, bentuk-bentuk seni untuk mewadahi juga digariskan oleh etika atau moral.
Dengan menggunakan ilmu psikologi, keindahan dipandang sebagai kreasi seni dan apresiasi terhadapnya. Dipelajari tentang pengertian simbolis dan efek emosional dari pada citra-citra. Fenomena seni dan selera itu bersifat kompleks dan tidak dapat dipegang. Banyak yang bersifat unik dan berbeda dari satu kebudayaan ke lain kebudayaan, dan dari waktu ke lain waktu. Karena itu bidang ini tidak dapat ditegakkan hukum-hukum normotetik, hanya keberulang-ulangan dan kecenderungan-kecenderungan, asosiasi dan sedikit hubungan kasual, maka seni sulit untuk bisa menjadi sains.
(4) extra sensory perception
inti dari parapsikologi yang mempelajari psikis yang sering terjadi secara spontan, baik yang besifat sepele sampai tragis, simple sampai kompleks, ramalan yang tak benar sampai khayalan, atau pesan yang tak kedengaran. Pengalaman-pengalaman itu bisa terjadi ketika bangun atau tidur, kepada tua maupun muda, ulama maupun eksekutif bisnis. Hal itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi berada di dalam pikiran dengan segala rahasianya.
(5) ilmu melalui pensucian hati
termasuk ke dalam mistisisme, seperti sufi atau tasawuf. Tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, melalui pensucian hati. Hal ini tidak dapat diterangkan, seperti rasa. Untuk merasakannya orang harus merasakannya sendiri atau mengalaminya.


Dari segi ilmu pengetahuan itu sendiri, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak hanya ditopang oleh faktor-faktor eksternal kehidupan masyarakat (sosial, politik, ekonomi), namun juga didukung oleh faktor-faktor internal pemikiran manusia. Menurut ahli antropologi, manusia primitif hidup pada kebudayaan mistis, yaitu cara berpikir yang memandang bahwa alam semesta ini penuh misteri dan dikuasai oleh daya-daya supranatural yang mahakuasa. Pada tahap ini berkembanglah mitos, sebagai suatu sarana yang ampuh untuk menerangkan semua gejala kehidupan. Ketika ada malapetaka dikatakan bahwa dewa-dewa marah; gempa bumi karena dewa yang menopang bumi bergerak; dan seterusnya. Tidak berarti bahwa pada tahap ini tidak ada ilmu pengetahuan; yang benar adalah sudah ada namun masih dalam taraf sangat sederhana dan praktis.
Manusia sebagai makhluk rasional memiliki salah satu kemampuan, yaitu penalaran.berbeda dengan hewan yang mengandalkan kekuatan fisik semata-mata, manusia dikarunai kemampuan rasional yang memungkinkan manusia untuk menilai dan mengambil keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar