Welcome

Met dateng di Napekah Tasarahai...

Sabtu, 20 Februari 2010

MA....

Ma....
nafasku terasa berat saat memanggil namamu
segala beban dunia tertumpu pada pundak ini
aku pun terlelahkan oleh sang waktu
menghimpit jejak langkah yang hilang arah

aku tak bisa lagi berlari seperti dulu
mengejar angin yang kau tiupkan untukku
atau hanya untuk sembunyi di balik hujan air matamu
karena kini aku hanya terdiam, terhenti pada detik kehidupan
sejenak pergi dan tiada kembali

izinkan aku memungut air matamu itu
sebagai penyejuk dahaga yang kerontang kasih sayangmu
karena aku telah lama jauh darimu
hilang arah dalam mencari bayang yang bukan wujudmu

maafkan aku
hanya hampa dalam raga yang kau temukan
membias kenangan yang puluhan waktu berlalu
kini
aku datang bukan untuk pamit padamu
aku datang untuk meminta kasihmu
kecupan manis dalam tidurku
dan air mata yang memandikan dosaku
maafkan aku, Ma....

RENUNGAN?

apa yang kurenungi saat ini?
bias-bias asa telah terputus dengan paksa
hentakan nafas pun berkali-kali goyahkan dunia
namun, aku tetap bertanya.
apa yang kurenungi saat ini?
tiada atau telah tiada
semua terkesan sama
tapi, tiada sama
hanya itu yang kurenungi ataukah salah aku renungi?
karena semua membisu
tiada beri jawaban untuk hati yang masih tersisa
penuh keraguan bahkan tak tahu bahasa pikiran
yang tertinggal hanyalah tanya
apa yang kurenungi saat ini?
ragaku pun menahan letih oleh waktu
kedalaman laut telah mengeringkan makna tatapanku
terbaring dalam hamparan luas akhir penantian
renungan yang tak temukan jawaban
ataukah aku yang terbutakan oleh renunganku sendiri?

TINDAK TUTUR DALAM WACANA INTERAKTIF RAGAM INFORMAL

A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki fungsi dalam membentuk interaksi antar-persona. Interaksi ini menuntut adanya hubungan timbal-balik yang biasanya tampak pada percakapan sehari-hari. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam pemeliharaan hubungan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan bicara menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mendukung fungsi sosial dari manusia itu sendiri.
Kegiatan bicara merupakan sebuah bentuk wacana lisan yang di dalamnya terdapat tindak tutur. Dengan kata lain, kegiatan bicara adalah wujud nyata dari pelaksanaan tindak tutur. Wacana atau discourse merupakan satuan bahasa yang paling besar dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam wacana tulis, proses komunikasi antara penutur dan petutur (mitra tutur) tidak terjadi secara langsung. Berbeda halnya dengan wacana lisan yang melibatkan penutur dan petutur secara langsung. Dalam wacana lisan, tuturan sangat dipengaruhi oleh konteks. Oleh karena itu, wacana lisan lebih bersifat temporer yang fana, artinya setelah diucapkan langsung hilang sehingga penafsirannya harus melibatkan konteks ketika tuturan itu diujarkan. (Arifin dan Rani, 2000: 4).
 Dalam kehidupan sehari-hari tindak tutur dapat ditampilkan secara bervariasi. Dengan kata lain, sebuah wacana tidak hanya dibentuk oleh satu tindak tutur saja, melainkan  dapat divariasikan dengan tindak tutur yang lainnya.  Tindak tutur dapat dinyatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya bergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat sesuai dengan kondisinya.
Tindak tutur dalam sebuah wacana merupakan penentu makna dari wacana itu sendiri. Akan tetapi, makna sebuah wacana tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur.  Austin (dalam Arifin dan Rani, 2000: 138) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi tiga macam yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Akan tetapi, tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin ini masih terlalu abstrak dan belum memberikan taksonomi yang jelas (Jumadi, 2005: 43). Oleh karena itu, Searle mengembangkan ide-ide Austin agar teori tindak tutur menjadi lebih konkret. Pada awalnya Searle membagi tindak tutur menjadi empat jenis yaitu tindak bertutur (utterance acts), tindak proposisional (propositional acts), tindak ilokusi (illocutionary acts), dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Namun dalam perkembangannya, Searle lebih memusatkan teori tindak tutur pada tindak ilokusi.  Ia membagi teori tindak tutur menjadi lima jenis yang meliputi representatif/asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Pengklasifikasian tindak tutur ini didasarkan pada fungsi pada masing-masing tindak tutur itu sendiri.
Pada ragam bahasa informal tindak tutur dapat pula digunakan secara bervariasi sesuai dengan pertimbangan pada komponennya. Komponen itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hymes (Chaer dan Agustina, 1995: 62) meliputi setting and scene (situasi yang bagaimana), participants (siapa berbicara dengan siapa), ends (dengan tujuan apa), act sequences (bentuk dan isi ujaran yang bagaimana), key (nada, cara, dan semangat yang seperti apa), instrumentalities (mengacu pada jalur apa), norm of interaction and interpretation (aturan apa yang digunakan), dan genres (ragam bahasa yang mana). Pertimbangan-pertimbangan ini dapat menjadi pijakan dalam pemilihan tindak tutur yang tepat sehingga komunikatif dan efektif saat digunakan terutama dalam interaksi belajar-mengajar di ruang perkuliahan.
Penelitian mengenai tindak tutur ini sebenarnya sudah banyak dilakukan. Penelitian itu diantaranya Memahami Al-Quran dengan Pendekatan Pragmatik Tindak Tutur (Ainin, 2002: 218-232) yang menemukan adanya ‘keterbatasan’ dalam memahami wacana, khususnya ayat-ayat Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh pengabaian terhadap tindak lokusi. Penelitian lainnya adalah Tindak Bahasa Guru SMU Negeri 1 Sampang dalam Interaksi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia (Yasin, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perpindahan dari satu tindak bahasa ke tindak bahasa yang lain sehingga interaksi belajar-mengajar menjadi lebih komunikatif.
Berdasarkan uraian sebelumnya, tulisan ini akan mengemukakan bahasan mengenai 1) wacana, 2) tindak tutur, dan 3) penerapan tindak tutur dalam ragam informal.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis analisis wacana. Stubbs (dalam Arifin dan Rani, 2000:8) mengungkapkan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan penggunaan tindak tutur dalam ragam informal yang melibatkan komunikasi interaktif yang terjadi di dalam rumah tangga. Adapun untuk mencapai tujuan itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang berusaha menggambarkan sesuatu yang terjadi dan mengaitkannya dengan variabel-variabel yang telah ditentukan.
 Penelitian ini dideskripsikan melalui pendekatan kualitatif yang sesuai dengan hakikat penelitian kualitatif. Permasalahan yang masih belum jelas, holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna menyebabkan perlunya menggunakan pendekatan kualitatif. Ini dilakukan karena data pada situasi sosial tidak mungkin dijaring melalui pendekatan penelitian kuantitatif dengan instrumen seperti kuesioner.

C. Perspektif Teori
1. Wacana
Wacana merupakan padanan dari discourse. Pada mulanya wacana dalam bahasa Indonesia hanya mengacu pada bahan bacaan, percakapan, dan tuturan. Di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia kata wacana digunakan sebagai kata umum. Akan tetapi, istilah wacana ini ternyata mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan. Arifin dan Rani (2000: 3) menyatakan wacana sebagai satuan paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata, dan bunyi.
Cook (dalam Arifin dan Rani, 2000: 4) menyatakan wacana sebagai penggunaan bahasa dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana sebagai penggunaan bahasa lisan dinyatakan dalam bentuk tuturan. Tuturan merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan. Tuturan ini sangat dipengaruhi oleh konteks ketika tuturan tersebut diucapkan. Sedangkan wacana sebagai penggunaan bahasa tulis diwujudkan dalam teks yang berisikan rangkaian proposisi sebagai hasil ungkapan dari ide atau gagasan.  Proses komunikasi pada wacana tulis tidak terjadi secara langsung atau berhadapan. Penutur (penulis) menuangkan ide atau gagasannya dalam kode-kode kebahasaan dalam bentuk kalimat-kalimat. Rangkaian kalimat itu nantinya akan ditafsirkan mitra tutur (pembaca).
Wacana merupakan teks yang pada dasarnya merupakan satuan dari makna. Oleh karena itu, teks harus dipandang dari dua sudut secara bersamaan yaitu sebagai produk dan hasil. Teks sebagai produk merupakan keluaran (output), sesuatu yang dapat diremak atau dipelajari karena mempunyai susunan tertentu dan dapat diungkapkan dengan peristilahan yang sistemik. Sedangkan teks sebagai proses dinyatakan dalam arti bahwa teks tersebut memiliki proses pemilihan makna yang terus-menerus, suatu perubahan melalui jaringan makna, dengan setiap perangkat lebih lanjut.

2. Tindak Tutur
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Richards (dalam Suyono, 1990: 5) yang berpendapat mengenai tindak tutur sebagai the things we actually do when we speak atau the minimal unit of speaking which can be said to have function. Pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh Arifin dan Rani (2000:136) yang menganggap tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan satuan terkecil dari komunikasi bahasa. Chaer dan Agustina (1995:64) lebih mengkhususkan tindak tutur sebagai gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Searle membagi tindak tutur berdasarkan fungsi pragmatis bahasa yang meliputi tindak tutur representatif atau asertif,  tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif. Searle (dalam Syamsuddin, et. al.,1998:97) mengemukakan bahwa tindak tutur representatif merupakan tindak yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu terjadi dengan apa adanya. Misalnya pemberian pernyataan, saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan tindak tutur komisif yaitu tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong  penutur melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan. Sedangkan tindak tutur direktif dianggap sebagai tindak tutur yang mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu.  Selain tidak tutur representatif, komisif, dan direktif juga terdapat tindak ekspresif yaitu tindak tutur yang berkaitan dengan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa tindakan meminta maaf, humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan sebagainya. Tindak ekspresif memiliki fungsi untuk mengekspresikan sikap psikologis pembicara terhadap pendengar sehubungan dengan keadaan tertentu. Tindak tutur yang terakhir yang dikelompokan Searle adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Tindak tutur ini dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan, memecat, dan memberi nama.






Lima fungsi umum dari tindak tutur yang dikemukakan Searle dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel: Lima Fungsi Umum Tindak Tutur
Tindak Tutur
Arah Kesesuaian
S=penutur
X=situasi
Representatif
Komisif
Direktif
Ekspresif
Deklaratif
membuat kata-kata sesuai dengan dunia
membuat dunia sesuai dengan kata-kata
membuat dunia sesuai dengan kata-kata
membuat kata-kata sesuai dengan dunia
kata-kata mengubah dunia
S percaya X
S memaksudkan X
S ingin X
S merasa X
S menyebabkan X

3. Penerapan Tindak Tutur dalam Ragam Informal
Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun, makna suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur seperti yang berlaku dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh karena itu, mungkin sekali dalam setiap tindak tutur penutur menuturkan kalimat yang unik karena adanya usaha untuk menyesuaikan dengan konteksnya. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu.
Tindak tutur pada ragam informal biasanya penggunaan bahasanya lebih santai, akrab, adanya campuran dengan bahasa daerah yang lebih dominan dalam komunikasi, dan penggunaan bahasa saat interaksi itu tidak terlalu menuntut kesantunan bahasa yang berlebihan apalagi jika penutur dan petutur berada dalam satu tingkatan yang sama, baik usia, tingkat dalam keluarga, tingkat ekonomi, maupun tingkat jabatan. Selain itu, pelanggaran terhadap kesantunan bahasa yang digunakan bukan berarti pelanggaran terhadap norma sosial yang berlaku. Hal ini lebih dilatar-belakangi oleh tingkat keakraban dalam interaksi yang sedang berlangsung.
Contohnya:
(1)  Kakak  : Ada pensil kada?
                      (ada pensil tidak?)
Adik    : Ada ai di warung.
                (ada di warung).
Kakak  : Kejauhan, adingku ai.
                (terlalu jauh, adikku).
Adik    : Sini nah ulun tendang, pasti sampai tu.
                (Mari, aku tendang, pasti sampai)

Sepintas percakapan (1) di atas tidak memiliki kesantunan dalam bahasa karena seorang adik terkesan tidak sopan dengan kakaknya. Seharusnya, seorang adik saat ditanya oleh kakaknya diharapkan dapat menjawab sesuai dengan pertanyaan. Namun, dalam wacana di atas adik tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam santun berbahasa. Akan tetapi, hal ini tidak ditandai oleh kakak sebagai suatu yang tidak pantas diucapkan adiknya sebab kedekatan antara kakak dan adik telah menghilangkan perbedaan tingkatan di keluarga. Selain itu, percakapan ini dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan hubungan dengan komunikasi yang santai.
Searle membagi tindak tutur berdasarkan fungsi pragmatis bahasa yang meliputi tindak tutur representatif atau asertif,  tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif.

a.      Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur  representatif merupakan salah satu tindak untuk menyampaikan proposisi yang benar dengan apa adanya untuk memperoleh respons sebagai balasan terhadap apa yang diinginkan penutur. Yang termasuk dalam tindak ini adalah tindak memberi informasi, memberi izin, permintaan ketegasan maksud tuturan, saran, memberi izin, keluhan, dan lainnya.
Penggunaan tindak tutur representatif diilustrasikan oleh penutur yang meyakini kebenaran terhadap apa yang diyakininya. Dengan kata lain, tindak representatif dalam ragam informal menyebabkan penutur membuat kata-katanya sesuai dengan dunia (keyakinan).
Contoh dialog interaktif ragam informal yang termasuk tindak tutur representatif yaitu:

(2)  Linda   : Slam, di mana ikam menyimpan file-ku malam tadi?
                (Slam, di mana kamu menyimpan file-ku malam tadi?)
Aslam  : Buka pang di History. Soalnya malam tadi langsung aku save-kan. Nama file-nya Punya AA PLN. Kalo kadida jua, berelaan ai.
                (Coba buka History. Karena, malam tadi langsung disimpan. Nama file-nya Punya AA PLN. Jika tidak ada relakan saja.)
Linda   :  Bujur-bujur nah. Hari ini handak mahadap ke bos!
                (Yang benar. Hari ini mau menemui bos!)
Aslam  :  Dasar bujur kakaku ai. Buka dulu History, ada kada file yang namanya Punya AA PLN? Mana pernah sih ading pian nih badusta, palingan sesekali za.
                (Memang benar kakakku. Buka dulu Hostory, ada tidak file yang namanya Punya AA PLN? Mana pernah adikmu ini berbohong, hanya sesekali saja.)
Linda   :  Biar sesekali, tapi kalau dikumpulkan jadi berkali-kali adingku ai. Badusta itu dosa, banyak ruginya. Eh, file-nya sudah dapat. Lain kali kalo handak manyimpanakan, namanya yang keren pang. Makasih banyak ya.
                (Meski sesekali, tapi kalau dikumpulkan jadi berkali-kali adikku. Berbohong itu dosa, banyak ruginya. Eh, file-nya sudah ketemu. Lain kali kalau mau menyimpankan, namanya yang keren ya. Terima kasih banyak.)
Aslam  :  Inggih, terima kasih jua nasihatnya lah, tapi jangan kada ingat kaina tagihannya masukan ja ke rekening ulun.
                (Ya, terima kasih juga nasihatny, tapi jangan lupa, nanti tagihannya dimasukkan saja ke rekening saya.)

Dialog (2) merupakan contoh tindak tutur representatif dalam bentuk pemberian informasi, permintaan ketegasan maksud, dan saran. Informasi diberikan karena Linda menanyakan sesuatu yang menyebabkan Aslam menjawab pertanyaan itu dengan memberikan informasi yang jelas yaitu dengan meminta Linda untuk membuka program History kemudian mencari file yang bernama Punya AA PLN. Informasi ini awalnya diragukan oleh Linda sehingga Linda meminta ketegasan “Bujur-bujur nah” yang kemudian direspon Aslam dengan menegaskan informasinya “Dasar bujur kakaku ai” dan mengulang informasi sebelumnya kepada Linda. Pada dialog itu Linda juga memberikan saran kepada Aslam untuk tidak berbohong meski itu hanya sekali karena berbohong itu merupakan dosa dan dapat merugikan. Dalam tuturan ini baik Linda maupun Aslam sama-sama memberikan tuturan sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.
Adapun contoh tindak tutur representatif yang lainnya yaitu dalam bentuk pemberian izin dapat diilustrasikan dalam dialog (3).

(3) Febry   : Ni, wadai siapa di kulkas? Ulun minta lah?
                      (Nek, kue siapa di lemari es? Saya minta ya?)
      Nenek  : Ambil ha sabuting! Padahi wan acil kam, wadai tu di kulkas, ambil kaina habis!
                      (Ambil saja satu! Beritahu tante kamu, ada kue di lemari es, ambil saja nanti habis.)

Dialog (3) menggambarkan tindak tutur representatif yang terdapat dalam bentuk pemberian izin “Ambil ha sabuting”. Izin diberikan nenek untuk mengambil kuenya karena Febry (cucu) menanyakan kepunyaan kue yang ada di lemari es dan ia menginginkan kue tersebut. Sebenarnya pertanyaan yang diajukan oleh Febry tidak memperoleh jawaban secara langsung dari nenek karena Febry menanyakan pemilik kue dan minta izin untuk memakannya. Akan tetapi, jawaban yang berisikan pemberian izin dari nenek “Ambil ha sabuting” telah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Febry karena maksud dari pertanyaan Febry itu sebenarnya adalah permintaan izin. Dengan diberinya izin, Febry menjadi tahu bahwa pemilik kue itu adalah nenek. Dan yang bisa memberikan izin hanya nenek. Dalam hal ini, nenek telah memberikan proposisi yang benar yaitu membuat kata-katanya sesuai dengan dunia (keyakinan).

b.      Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong  penutur melakukan sesuatu sesuai dengan komitmennya yang telah ditetapkannya dalam melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan.
Contoh tindak tutur yang menyatakan janji.

(4)  Aya      :  Teganya, kalau aku diculik kiapa? Iih ha, tapi janji lah jangan padahi awan Nisa-nya!
                      (Teganya, kalau aku diculik, bagaimana? Baiklah, tapi janji ya jangan beritahu Nisa)
      Aslam  : Iih aku janji nah. Janji dua jari, peace.
                      (Iya, aku janji. Janji dua jari, peace)
      Aya      :  Kadonya, HP Nokia.
     
Dialog (4) berisikan tindak tutur komisif dalam bentuk berjanji. Dalam hal ini, Aya mendorong Aslam untuk melakukan apa yang diinginkannya yaitu berjanji. Dan Aslam pun akhirnya mengikuti apa yang diinginkan aya yaitu berjanji tidak akan memberitahukan Nisa isi kado buatnya, “Iih, aku janji nah”. Janji yang ditetapkan Aslam itu akan membuatnya berkomitmen terhadap apa yang dilakukannya pada masa yang akan datang.

c.       Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang mengekspresikan maksud penutur dalam bentuk perintah atau permintaan untuk menghasilkan efek melalui suatu tindakan pada mitra tuturnya. Wujud tindak tutur direktif ini dapat berupa perintah, suruhan, permintaan (permohonan), saran.

(5)  Aslam  :  Aya, padahi kada? Kalau kada mau madahi, kada kuantarkan lagi kuliah nah?
                      (Aya, beritahu tidak? Kalau tidak memberitahu, tidak akan kuantarkan lagi kuliah?)
      Aya      :  Napa, kada dipadahi kaka Linda kah?
                      (Ada apa, tidak diberitahu kakak Linda ya?)

Dialog (5) mengilustrasikan adanya tindak tutur dalam wujud perintah. Perintah dilakukan oleh Aslam pada Aya untuk memberitahukan sesuatu yang ingin diketahuinya. Pada dialog ini Aslam berusaha membuat Aya memberitahukan hal yang ingin diketahuinya itu, “Aya, padahi kada”.
Selain tindak tutur direktif dalam bentuk perintah, juga terdapat tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan. Tindak tutur ini dapat diilustrasikan pada dialog (6).

(6)  Ayah    :  Nak, ketikakan pang surat abah ini! Terserah kam ja, kapankah kalau kada hauran.
                      (Nak, tikan surat Ayah ini! Terserah, kapan saja jika kamu tidak sibuk).
      Aslam  :  Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus.
                      (Maaf Yah, saya lagi mengerjakan TA, besok ada dosennya. Kecuali besok bisa saja setelah dari kampus)

Pada dialog (6) Ayah menggunakan tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan. Ayah meminta Aslam untuk mengetikan surat, “Slam, ketikakan pang surat abah ini!”. Tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan ini mendorong Aslam melakukan apa yang diminta oleh Ayah, meski tidak langsung memenuhi permintaan tersebut, “Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus”.
Tindak tutur direktif dalam bentuk saran juga dapat diilustrasikan dalam dialog (7) berikut ini.

(7)  Aya      :  Mengambil hadiah di bank esok ja gin, selajuran mengurus SKCK di Poltabes. Pas pambulikannya talewati lho?
                      (Mengambil hadiah di bank esok saja ya, sekalian mengurus SKCK di Poltabes. Pulangnya kan melewati?)
      Aslam  :  Lihati ai dulu lah, jadwal konserku padat banar nah. Hehehe. Jam berapa tulaknya?
                      (Lihat dulu ya, jadwal konserku padat sekali. Hehehe. Jam berapa berangkatnya?)

Pada dialog (7) Aya memberikan saran pada Aslam untuk menghemat waktu dalam melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu mengambil hadiah di bank dan mengurus SKCK di Poltabes. Saran ini kemudian diterima oleh Aslam dengan pertanyaan, “Jam berapa tulaknya?”.
Tindak tutur direktif ragam informal dalam dialog yang terjadi di rumah tangga memperlihatkan bentuk-bentuk seperti perintah, permintaan, dan saran. Ketiga bentuk dari tindak tutur direktif ini digunakan oleh penutur dalam usahanya untuk membuat dunia sesuai dengan kata-katanya.

d.      Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berkaitan dengan ekspresi sikap psikologis penutur terhadap petutur sehubungan dengan keadaan tertentu. Tindak tutur ini dapat berupa tindak untuk meminta maaf, humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan lainnya sebagai pernyataan rasa senang, sedih, marah, dan benci.
Contoh tindak ekspresif dalam bentuk permintaan maaf dapat diilustrasikan pada dialog (8)

(8)  Ayah    :  Nak, ketikakan pang surat abah ini! Terserah kam ja, kapankah kalau kada hauran.
                      (Nak, tikan surat Ayah ini! Terserah, kapan saja jika kamu tidak sibuk).
      Aslam  :  Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus.
                      (Maaf Yah, saya lagi mengerjakan TA, besok ada dosennya. Kecuali besok bisa saja setelah dari kampus)

Dialog (8) mengilustrasikan tindak tutur ekspresif dalam bentuk permintaan maaf yang dituturkan oleh Aslam sebagai respons terhadap permintaan Ayah. Pada situasi ini, Aslam membuat kata-kata yang dituturkannya sesuai dengan dunia (perasaan) yaitu ketidakmampuannya untuk membantu Ayah mengetikan surat saat itu juga kecuali di hari yang lain.
Selain tindak tutur ekspresif dalam bentuk permintaan maaf, juga terdapat dalam bentuk memuji dan humor melalui ekspresi senang. Ekspresi ini membuat interaksi dalam komunikasi semakin akrab. Tindak ekspresi ini diilustrasikan dalam dialog (9)


(9)  Ayah    :  Manggawi apa nak?
                      (Mengerjakan apa Nak?)
      Aslam  :  Ma-edit foto pian awan mama. Bagus lah Bah?
                      (Mengedit foto Ayah dengan Ibu. Bagus ya, Yah?)
      Ayah    : Uma ai bagusnya! Diapai foto abah wan mama ikam jadi kawa masuk ke komputer?
                      (Wah, bagusnya! Diapakan foto Ayah dengan Ibu kamu jadi bisa masuk ke komputer?)
      Linda   :  Fotonya dimasukkan ke dalam komputer pakai kunci bule, Bah ai. Makanya pian mancari-cari kunci bule kada sing dapatan lho?
                      (Fotonya dimasukkan ke dalam komputer pakai kunci bule, Yah. Oleh karena itu, Ayah mencari-cari kunci bule tidak bertemu kan?)
      Aslam  : Dasar jua nih, wan abah kaitu lah? Dustainya Bah ai. Ulun me-scan di rental.
                      (Dasar, dengan ayah seperti itu ya? Bohong Yah. Saya me-scan di rental.
      Ayah    : Munyak jua buhan kam badua nih. Lihati tu nah Aya ranai-ranai ja kada abut.
                      (Dasar kalian berdua ini. Coba lihat Aya santai-santai saja, tidak ribut)
      Aslam  :  Mulai tadi takurihing ja. Walkman tu pang di talinga tarus, mudahan ja kada talilit. Uy urangnya Assalammualaikum?
                      (Sedari tadi tersenyum saja. Walkman  itulah yang di telinga terus, mudahan tidak terlilit. Hei orang, Assalamualaikum?)
      Aya      :  Waalaikumsalam, lalui ja cil ai.
                      (Waalaikumsalam, lewati saja Bi).

Tindak tutur ekspresif  dalam bentuk pujian dari Ayah (penutur) kepada Aslam (petutur) terlihat dari ilustrasi dialog (9). Pujian tersebut diilustrasikan dalam tuturan, Uma ai bagusnya!” melalui ekspresi senang dari penutur kepada petutur. Selain itu, dalam interaksi komunikasi itu juga disisipkan lelucon (humor) yang menyebabkan suasana menjadi bertambah akrab dan menyenangkan. Ekspresi yang dilakukan dalam tuturan merupakan ekspresi dari perasaan penuturnya saat itu. Dengan kata lain, penutur membuat kata-kata sesuai dengan dunia (perasaan).



e.       Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Penggunaan tindak tutur deklaratif ini dilakukan oleh penutur untuk mengubah dunia melalui kata-katanya. Tindak tutur deklaratif dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan, memecat, dan memberi nama. Akan tetapi, dalam dialog interaktif ragam informal yang dilakukan dalam situasi santai di rumah tangga tidak ditemui adanya tindak tutur deklaratif.

D.  Simpulan
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Pada wacana interaktif ragam informal yang berlangsung di rumah tangga dalam keadaan santai terdapat tindak tutur seperti tindak tutur representatif atau asertif, tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, dan tindak tutur ekspresif. Akan tetapi tindak tutur deklaratif tidak ditemukan di dalam interaksi komunikasi ragam santai ini. Ini disebabkan situasi yang santai tidak mendukung dilakukannya tindak tutur deklaratif saat itu.

E.  Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul dan Rani, Abdul. 2000. Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Chaer, Abdul dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaniago, Sam Mukhtar., Mukti U.S., dan Maidar Arsyad. 1997. Pragmatik. Pondok Cabe: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Rahardi, R. Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: DIOMA.

Roekhan. 2002. Kegagalan dan Pendayagunaan Maksim Tutur. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 30 (2): 189-208. Malang. Universitas Negeri Malang.

Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajaran. Malang: YA3.

Syamsuddin A.R, Lilis St. Sulistyaningsih, dan Isah Cahyani. 1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.

Yule, George. 1998. Pragmatik. Terjemahan oleh Jumadi. 2006. Banjarmasin. PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.

RASIO DAN RASA

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan tugasnya itu, manusia diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Potensi akal dapat menghasilkan ilmu nomotetikal, atau hukum-hukum sebab-akibat. Hal ini dapat digunakan untuk memikirkan, merenungkan, dan merumuskan berbagai konsep, pemikiran, dan langkah-langkah praktis untuk kemajuan manusia. Sedangkan potensi kalbu dapat menghasilkan ilmu rasa, atau ilmu normatif yang digunakan untuk mengarahkan manusia pada sesuatu yang baik. Dua alat ini akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya merupakan hal yang penting dan harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan.
Akan tetapi, dalam perkembangannya selama ini, penggunaan dua alat ini tidak seimbang. Pada umumnya rasio dianggap sebagai hal penting sedangkan rasa hanya dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat keberadaan dari rasio. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.

Hal inilah yang menjadi dasar permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu perkembangan rasio dan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.




B. Hubungan Ilmu, Rasio, dan Rasa
Salah satu ciri atau sifat manusia adalah keingintahuannya terhadap apa yang ditanggapi oleh panca indera, terutama indera penglihatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Soewardi (1999: 275) mengemukakan ilmu rasio atau nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat: ...sebab akibat ini juga disebut kausalitas. Kausalitas adalah keperilakuan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Kausalitas disebut pula sunnatullah, ketetapan Tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang menjadi pegangan bagi manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Misalnya, hubungan kausalitas dapat terlihat pada kenyataan yang ada di sekitar kita, ada asap pasti ada api, jika air dipanaskan akan menguap, dan kayu kering akan terbakar jika dikenai api. Segala sesuatunya selalu ada hubungan kausalitas. Akan tetapi, bagaimana cara mengambil suatu simpulan mengenai suatu kenyataan yang tidak selalu memiliki hubungan kausalitas, misalnya Nabi Ibrahim a.s yang dibakar dengan api, tetapi tidak terbakar hangus, melainkan merasa sejuk saat dibakar. Di sini dapat terlihat keterbatasan manusia di sisi-Nya. Ini disebabkan oleh kemampuan manusia yang dapat disketsa dengan satu tanda titik kecil, sedangkan jagat raya sangat luas. Sulit sekali untuk mengungkap setiap rahasia jagat raya dengan keterbatasan pada diri manusia.
 


kemampuan                                                                   jagat raya
manusia



Sketsa keterbatasan alam pemikiran manusia terhadap jagat raya
Dalam perkembangannya rasio selalu mendominasi dalam perkembangan pengetahuan sain. Pengetahuan sain merupakan suatu hal yang rasional dan empiris. Sesuatu dapat dikatakan rasional apabila dapat diterima oleh akal pemikiran manusia yang didasarkan pada rasio. Corak berpikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur logis seperti ini di dalam filsafat dikenal sebagai rasionalisme. Aliran yang memandang bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Oleh karena itu, rasio dianggap sebagai alat yang penting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Sehingga ada sebagian yang menyatakan bahwa rasio sebagai suatu potensi akal menjadi sumber kebenaran yang mengatur manusia dan alam. Jadi, sesuatu yang masuk akal (logis) dianggap benar dan sesuatu yang di luar dari akal (tidak logis) dianggap tidak benar (salah).
Perkembangan ilmu yang didominasi oleh rasio dikenal dalam ilmu di Barat (modern). Ilmu yang memisahkan diri dari rasa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.

Pemisahan dari rasa menyebabkan manusia semakin lama semakin besar menaruh kepercayaan terhadap kemampuan rasio (potensi akal). Akibatnya, kepercayaan yang bersifat dogmatis, tata-susila yang bersifat tradisi, dan segala sesuatu yang tidak masuk dalam pemikiran, keyakinan, maupun anggapan manusia ditiadakan. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui potensi akal saja yang dianggap memenuhi syarat dan menjadi tuntutan oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya digunakan untuk mengukuhkan keberadaan dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Bakhtiar (dalam Kusasi, 2005: 4) menyatakan mengenai keberadaan asumsi ini yang dianggap benar apabila sebab-akibat memiliki hubungan yang rasional.
Jadi, antara ilmu dan rasio memiliki kaitan yang sangat erat, apalagi di dalam ilmu Barat. Sain dianggap sebagai hasil dari potensi akal. Dalam hal ini sain terlepas dari rasa karena sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan, indak atau jelek. Sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Manusia yang diberi potensi akal (rasio) dan potensi kalbu (rasa) oleh Tuhan, akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, rasio harus diimbangi pula dengan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.
Rasa adalah tangkapan dari stimulus yang direspon oleh otak melalui panca indera sehingga menimbulkan penafsiran-penafsiran sesuai dengan terjemahan dari hasil respon yang melahirkan makna. Suryabrata (1995: 66) mengemukakan pengertian perasaan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif dan pada umumnya berkaitan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kausalitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perasaan akan menimbulkan pengetahuan tentang idealisme, kemanusiaan (kasih sayang), estetika (keindahan), etika, dan moralitas. Dengan kata lain, rasa menimbulkan nilai-nilai yang akan berlaku di tengah-tengah kehidupan manusia.
Rasa dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu biasa, hati nurani, dan rasa yang disucikan. Rasa pada peringkat biasa banyak membantu dalam tugas sehari-hari seperti pada pemain musik, pengemudi, koki (tukang masak), Ibu rumah tangga, dan sebagainya. Peringkat hati nurani digunakan misalnya oleh ahli-ahli hukum (hakim). Penetapan suatu vonis harus ditunjang oleh data-data harus ditunjang oleh hati nurani dalam menetapkan salah dan benarnya seseorang. Sedangkan perangkat ketiga adalah rasa yang disucikan seperti pada para sufi atau tasawuf amali dalam mendekatkan diri pada Tuhan.












Iktisar macam-macam perasaan menurut Bigot (1950, p. 534)
 
Bigot (dalam Suryabrata 1995: 66-69) memberikan ikhtisar mengenai macam-macam perasaan.
1. perasaan indriah
2. perasaan vital
 
1. perasaan intelektual
2. perasaan kesusilaan
3. perasaan keindahan
4. perasaan sosial
5. perasaan harga diri
6. perasaan keagamaan
 
 









a.   Perasaan-perasaan jasmaniah (rendah):
(1) perasaan indriah adalah perasaan yang berhubungan dengan rangsangan terhadap panca indera seperti manis, asin, pahit, panas, dan sebagainya.
(2)  perasaan vital adalah perasaan yang berhubungan dengan keadaan jasmani pada umumnya seperti sehat, lemah, segar, letih, dan sebagainya.
b.   Perasaan-perasaan luhur (rohaniah):
(1)  perasaan intelektual adalah perasaan yang berkaitan dengan kemampuan intelek dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Misalnya, perasaan senang karena hasil ujiannya memperoleh nilai yang baik.
(2)  perasaan kesusilaan adalah perasaan tentang baik-buruk. Misalnya, rasa puas setelah melakukan kebaikan pada orang lain.
(3)  perasaan keindahan adalah perasaan yang menyertai atau timbul karena adanya pemaknaan terhadap sesuatu yang indah maupun tidak indah.
(4)  perasaan sosial adalah perasaan yang mengikat individu dengan sesamanya, perasaan untuk hidup bermasyarakat, tolong-menolong, dan sebagainya.
(5)  perasaan harga diri adalah perasaan yang berkaitan dengan diri seseorang. Misalnya, merasa direndahkan karena dicela maupun merasa bangga karena mendapat pujian.
(6)  perasaan keagamaan adalah perasaan yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya, rasa kagum akan kebesaran ciptaan Tuhan, rasa syukur, dan lain sebagainya.

Sain pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan membantu kehidupan manusia agar menjadi lebih baik dan mencapai kebahagiaan. Dalam kaitannya dengan rasio, rasa juga ikut berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini dikenal istilah sain bebas nilai dan sain terikat nilai. Sain bebas nilai tidak memasukkan rasa di dalam penerapannya misalnya pada perkembangan sain dalam ilmu di Barat. Berbeda halnya dengan sain terikat nilai yang memasukkan rasa dalam penerapan ilmu pengetahuan, sehingga sain berkembang dalam satu wadah yang dibatasi oleh nila-nilai yang telah ada di masyarakat, tempat sain berkembang dan diterapkan. Adat Timur banyak yang memegang sain terikat nilai. Akan tetapi, hal ini bukan menjadi penghambat dalam perkembangan sain sepanjang masa. Ilmu di Timur tidak mengikat perkembangan sain, melainkan mengikat penerapannya. Dengan begitu, perkembangan sain tetap disesuaikan dengan nilai-nilai yang tetap ada di masyarakat. Paling tidak, dengan adanya nilai-nilai tersebut, keberadaan sain tidak menjadi sesuatu yang menyebabkan keresahan dan kerusakan di masyarakat.




Ilmu Nomotetikal
Ilmu rasio atau ilmu nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat: segala sesuatu memerlukan penyebab agar maujud: “ada asap pasti ada apinya”. Sebab-akibat ini disebut kausalitas. Kausalitas adalah keperluan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Sulit kita bayangkan bila hukum sebab-akibat itu tak ada di alam empirik, di mana kita hidup ini.
Kausalitas disebut pula sunnatullah, ketetapan tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya ini. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang merupakan pegangan bagi manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah.
Namun, hukum sebab-akibat yang berlaku bagi alam dan bagi manusia tidaklah terlalu sama. Tuhan menciptakan jagat raya sebagai suatu ‘order’ (kosmos) dengan ketundukan 100% terhadap sunnatullah. Hal ini tampak pada Q.S. Al-Fushilat: 11 yang artinya
“kemudian dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia berkata kepadanya dan kepada Bumi: datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan sukahati atau terpaksa”, keduanya menjawab: Kami datang dengan sukahati.
Manusia berupaya memahami “order” tersebut. Newton mencobanya, namun “order Newtonian” itu ‘diruntuhkan’ oleh para ilmuwan pasca-Newtonian. Mereka berhasil meruntuhkan, tapi apa gantinya? Belum ada yang memuaskan. Bagaimana kiranya sunnatullah bagi manusia? Hal ini tampak pada Q.S. Al-Kahfi:29, yang artinya:
“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yamh ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Tuhan memberikan pada manusia keleluasaan untuk membuat pilihan (choice), tentunya dengan segala konsekuensinya. Maka, keperluan manusia itu tidak terlalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal terhadapnya, tetapi kekuatan internal pun yang berpengaruh terhadap pilihannya. Dan ketentuan ini kita bisa bandingkan “grand theory” di bidang Sosiologi, mana yang lebih cocok dengan wacana Al-Qur’an. Teori Struktural-Function (dari Parson, Merton, dkk) meletakkan kekuatan pada struktur dan fungsi, maka manusia itu hanyalah dipandang sebagai “sekrup” saja. ia tidak ubanya seperti batu yang didorong kekiri atau ke kanan, dan tak berdaya apa-apa. Namun sebaliknya, teori Behaviorism (G. Harbert Mead) sangat memandang bahwa orang melihat sekelilingnya dengan ‘meaning’ dan ‘attitude’ menurut pandangannya, maka ia mampu membuat keputusannya (choice) berdasarkan pandangannya itu. Maka teori Mead lebih cocok dengan Al-Qur’an daripada teori Parson/Merton.
Namun yang menjadi pertanyaan itu adalah: Benarkah di alam empirikal itu ada sebab-akibat? Al-Gazali mengakui adanya regularitas, karena regularitas adalah kebiasaan Tuhan. Tapi yang dipermasalahkannya ada kekuatan yang menimbulkan akibat dari sebab itu. Ia memandang bahwa kekuatan itu adanya pada Tuhan, sehingga akibat akan terjadi atau tidak tergantung pada Tuhan, apakah kekuatan itu akan diberikan atau tidak. Sebab bila kekuatan itu ada pada benda-benda, maka menurut Al-Ghazali Tuhan bertindak “self-contradictory”. Maka kekuatan itu tidak terdapat pada benda-benda. Pandangan yang sekarang berlaku, seperti pandangan Kant yang mengagumi deterministik Newton, kekuatan-kekuatan itu telah di-selegation of authority-kan. Maka kekuatan itu tidak terdapat pada benda-benda.
Namun seperti yang telah dikatakan Tanmas di muka, certainties kini telah ...dan orang cenderung untuk stokastik. Demikian juga penemuan tentang uncertainty principle.
Dunia Rasa
Kita dapat menggolongkan rasa pada tiga tingkatan, yaitu biasa, hati nurani (conscience), dan rasa yang disucikan. Rasa peringkat biasa banyak membantu kita dalam tugas sehari-hari. Pengemudi, pemain musik, dokter, negarawan, dsb, tidak akan mampu melaksanakan tugasnya bila tidak dibantu oleh rasa. Semuanya menggunakan judgement, baik tanpa maupun dengan bantuan alat. Peringkat hati nurani yang digunakan misalnya oleh ahli-ahli hukum, seorang hakim. Dalam menetapkan vonis, data-data harus ditunjang dengan hati nurani dalam menetapkan apakah seseorang itu salah atau benar, berhak atau tidak berhak. Adapun peringkat ketiga, yaitu rasa yang disucikan, terdapat misalnya pada sufi, atau tasawuf amali, dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan
Pembagian dunia rasa
(1) idealisme irrasional
berkembang pada abad ke-19, disebut idealisme negatif atau idealisme irrasional. Idealisme ini tidak memandang dunia melalui kemampuan rasional, tetapi melalui kegiatan keinginan, sebagai landasan untuk menerangkan seperti apa wujud dunia ini. Tokohnya adalah Schopenhauer yang mengemukakan bahwa sains hanya mampu menerangkan secara matrealistis segala fenomena. Ia percaya bahwa dunia sebagai idea hanya merupakan manisfestasisuperfisial, begitupun dengan eksistensinya. Maka haruslah ada benda itu sendiri yang menjadi substratumdari yang bersifat superfisial itu. Substratum ini tidak lain adalah keinginan.
Pelanjut Schopenhauer adalah Nietzsche. Ia juga memandang keinginan sebagai fakta dasar dari manusia. Realisasi daripadanya ada dua macam: keinginan manusia yang diekspresikan secara kalem, dan yang diekspresikan secara passionate. Ia mengutuk semua agama, khususnya agama nasrani. Dikatakan bahwa Tuhan telah mati.
(2) etika dan hukum
Etika ialah pembahasan mengenai baik, buruk, benar, dan salah. Yang paling menonjol ialah tentang baik dan teori tentang kewajiban. Keduanya bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral.
-          baik adalah baik padanya sendiri (good in itself), bukan baik untuk satu tujuan tertentu (suatu alat untuk mencapai suatu tujuan).
-          Kesenangan (happines) adalah suatu yang baik. Maksudnya ialah untuk menghasilkan kesenangan (pleasure) terbesar. Kebalikannya adalah rasa sakit hati (pain). Secara umum orang menyenangi kejujuran (honesty) dan keadilan (justice).
-          Juga dipercayai bahwa ketinggian moral adalah satu-satunya sifat baik. Utilitarianisme/hedoisme adalah memaksimalisasikan kesenangan dan meminimalisasikan rasa sakit. Namun rasa senang ini hanya dibenarkan oleh moral.
-          Kewajiban atau obligation: yang dipermasalahkan adalah mengapa suatu tindakan itu wajib dilakukan. Diperkirakan bahwa yang menghasilkan kebaikan itu wajib dilakukan. Berbohong dalam keadaan apapun dalam masyarakat Barat tidak dibenarkan, karena orang tidak akan percaya lagi.
-          Hukum. Hukum berlandaskan pada moral. Moral harus menjadi hukum dengan mengundangkanya. Dalam islam terjadi jalinan yang erat antara etika atau moral, agama dan hukum. Namun, di negara-negara sekuler, hal itu tidak demikian terjalin erat. Hukum tumbuh di dalam masyarakat secara alami. Penakluk bisa memasukkan hukumnya kepada masyarakat yang mereka taklukkan.
Motivasi dan sanksi: ada dua hal yang terjadi pada diri manusia, jalan keterpujian dan keterkutukan. Yang pertama diganjar, dan yang kedua dihukum. Keterpujian juga merupakan motivasi bagi orang untuk bergerak. Kini di dalam masyarakat kita yang disebut keterpujian ialah keberhasilan mengumpulkan materi (harta) sebanyak-banyaknya, tanpa melihat bagaimana harta itu dikumpulkan.

(3) estetika atau keindahan
berbicara tentang estetika atau keindahan, maka kita menghadapi dua hal, yaitu: (1) pengalaman seni (atau selera); dan (2) upaya untuk mengerti tentang keindahan. Yang disebut pertama bersifat subjektif, sedangkan yang kedua disebut objektif, dan berupaya meningkatkan diri menjadi sains. Namun mengingat sifatnya, ialah kesulitan dengan dengan pengukuran yang eksak dan pembuktian logis, mungkin tak akan sampai ke situ.
Ke dalam lingkup yang objektif itu ada dua upaya, yaitu teori tentang persepsi dari pada keindahan dan prinsip-prinsip seni (art), yang terpisah satu sama lain, akan tetapi berkerabat. Adapun persatuan dari keduanya hanya dapat dipahami sebagai kreativitas manusia yang tujuannya untuk mewadahi keindahan. Di bidang estetika modern terdapat terdapat kegiatan-kegiatan: (1) klasifikasi secara sistematis tentang seni; (2) morfologi tentang estetika; (3) teori sejarah seni (hipotesis tentang kecendrungan pokok); dan (4) pola-pola hubungan kausal pengaruh-mempengaruhi antara seni dan kebudayaan.
Rasa indah bersifat spritual dan gaib, merupakan manifestasi dari idea yang langgeng dan dapat mengungkapkan kebenaran ilahi. Oleh karena itu, bentuk-bentuk seni untuk mewadahi juga digariskan oleh etika atau moral.
Dengan menggunakan ilmu psikologi, keindahan dipandang sebagai kreasi seni dan apresiasi terhadapnya. Dipelajari tentang pengertian simbolis dan efek emosional dari pada citra-citra. Fenomena seni dan selera itu bersifat kompleks dan tidak dapat dipegang. Banyak yang bersifat unik dan berbeda dari satu kebudayaan ke lain kebudayaan, dan dari waktu ke lain waktu. Karena itu bidang ini tidak dapat ditegakkan hukum-hukum normotetik, hanya keberulang-ulangan dan kecenderungan-kecenderungan, asosiasi dan sedikit hubungan kasual, maka seni sulit untuk bisa menjadi sains.
(4) extra sensory perception
inti dari parapsikologi yang mempelajari psikis yang sering terjadi secara spontan, baik yang besifat sepele sampai tragis, simple sampai kompleks, ramalan yang tak benar sampai khayalan, atau pesan yang tak kedengaran. Pengalaman-pengalaman itu bisa terjadi ketika bangun atau tidur, kepada tua maupun muda, ulama maupun eksekutif bisnis. Hal itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi berada di dalam pikiran dengan segala rahasianya.
(5) ilmu melalui pensucian hati
termasuk ke dalam mistisisme, seperti sufi atau tasawuf. Tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, melalui pensucian hati. Hal ini tidak dapat diterangkan, seperti rasa. Untuk merasakannya orang harus merasakannya sendiri atau mengalaminya.


Dari segi ilmu pengetahuan itu sendiri, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak hanya ditopang oleh faktor-faktor eksternal kehidupan masyarakat (sosial, politik, ekonomi), namun juga didukung oleh faktor-faktor internal pemikiran manusia. Menurut ahli antropologi, manusia primitif hidup pada kebudayaan mistis, yaitu cara berpikir yang memandang bahwa alam semesta ini penuh misteri dan dikuasai oleh daya-daya supranatural yang mahakuasa. Pada tahap ini berkembanglah mitos, sebagai suatu sarana yang ampuh untuk menerangkan semua gejala kehidupan. Ketika ada malapetaka dikatakan bahwa dewa-dewa marah; gempa bumi karena dewa yang menopang bumi bergerak; dan seterusnya. Tidak berarti bahwa pada tahap ini tidak ada ilmu pengetahuan; yang benar adalah sudah ada namun masih dalam taraf sangat sederhana dan praktis.
Manusia sebagai makhluk rasional memiliki salah satu kemampuan, yaitu penalaran.berbeda dengan hewan yang mengandalkan kekuatan fisik semata-mata, manusia dikarunai kemampuan rasional yang memungkinkan manusia untuk menilai dan mengambil keputusan.