Welcome

Met dateng di Napekah Tasarahai...

Sabtu, 20 Februari 2010

TINDAK TUTUR DALAM WACANA INTERAKTIF RAGAM INFORMAL

A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki fungsi dalam membentuk interaksi antar-persona. Interaksi ini menuntut adanya hubungan timbal-balik yang biasanya tampak pada percakapan sehari-hari. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam pemeliharaan hubungan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan bicara menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mendukung fungsi sosial dari manusia itu sendiri.
Kegiatan bicara merupakan sebuah bentuk wacana lisan yang di dalamnya terdapat tindak tutur. Dengan kata lain, kegiatan bicara adalah wujud nyata dari pelaksanaan tindak tutur. Wacana atau discourse merupakan satuan bahasa yang paling besar dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam wacana tulis, proses komunikasi antara penutur dan petutur (mitra tutur) tidak terjadi secara langsung. Berbeda halnya dengan wacana lisan yang melibatkan penutur dan petutur secara langsung. Dalam wacana lisan, tuturan sangat dipengaruhi oleh konteks. Oleh karena itu, wacana lisan lebih bersifat temporer yang fana, artinya setelah diucapkan langsung hilang sehingga penafsirannya harus melibatkan konteks ketika tuturan itu diujarkan. (Arifin dan Rani, 2000: 4).
 Dalam kehidupan sehari-hari tindak tutur dapat ditampilkan secara bervariasi. Dengan kata lain, sebuah wacana tidak hanya dibentuk oleh satu tindak tutur saja, melainkan  dapat divariasikan dengan tindak tutur yang lainnya.  Tindak tutur dapat dinyatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya bergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat sesuai dengan kondisinya.
Tindak tutur dalam sebuah wacana merupakan penentu makna dari wacana itu sendiri. Akan tetapi, makna sebuah wacana tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur.  Austin (dalam Arifin dan Rani, 2000: 138) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi tiga macam yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Akan tetapi, tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin ini masih terlalu abstrak dan belum memberikan taksonomi yang jelas (Jumadi, 2005: 43). Oleh karena itu, Searle mengembangkan ide-ide Austin agar teori tindak tutur menjadi lebih konkret. Pada awalnya Searle membagi tindak tutur menjadi empat jenis yaitu tindak bertutur (utterance acts), tindak proposisional (propositional acts), tindak ilokusi (illocutionary acts), dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Namun dalam perkembangannya, Searle lebih memusatkan teori tindak tutur pada tindak ilokusi.  Ia membagi teori tindak tutur menjadi lima jenis yang meliputi representatif/asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Pengklasifikasian tindak tutur ini didasarkan pada fungsi pada masing-masing tindak tutur itu sendiri.
Pada ragam bahasa informal tindak tutur dapat pula digunakan secara bervariasi sesuai dengan pertimbangan pada komponennya. Komponen itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hymes (Chaer dan Agustina, 1995: 62) meliputi setting and scene (situasi yang bagaimana), participants (siapa berbicara dengan siapa), ends (dengan tujuan apa), act sequences (bentuk dan isi ujaran yang bagaimana), key (nada, cara, dan semangat yang seperti apa), instrumentalities (mengacu pada jalur apa), norm of interaction and interpretation (aturan apa yang digunakan), dan genres (ragam bahasa yang mana). Pertimbangan-pertimbangan ini dapat menjadi pijakan dalam pemilihan tindak tutur yang tepat sehingga komunikatif dan efektif saat digunakan terutama dalam interaksi belajar-mengajar di ruang perkuliahan.
Penelitian mengenai tindak tutur ini sebenarnya sudah banyak dilakukan. Penelitian itu diantaranya Memahami Al-Quran dengan Pendekatan Pragmatik Tindak Tutur (Ainin, 2002: 218-232) yang menemukan adanya ‘keterbatasan’ dalam memahami wacana, khususnya ayat-ayat Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh pengabaian terhadap tindak lokusi. Penelitian lainnya adalah Tindak Bahasa Guru SMU Negeri 1 Sampang dalam Interaksi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia (Yasin, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perpindahan dari satu tindak bahasa ke tindak bahasa yang lain sehingga interaksi belajar-mengajar menjadi lebih komunikatif.
Berdasarkan uraian sebelumnya, tulisan ini akan mengemukakan bahasan mengenai 1) wacana, 2) tindak tutur, dan 3) penerapan tindak tutur dalam ragam informal.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis analisis wacana. Stubbs (dalam Arifin dan Rani, 2000:8) mengungkapkan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan penggunaan tindak tutur dalam ragam informal yang melibatkan komunikasi interaktif yang terjadi di dalam rumah tangga. Adapun untuk mencapai tujuan itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang berusaha menggambarkan sesuatu yang terjadi dan mengaitkannya dengan variabel-variabel yang telah ditentukan.
 Penelitian ini dideskripsikan melalui pendekatan kualitatif yang sesuai dengan hakikat penelitian kualitatif. Permasalahan yang masih belum jelas, holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna menyebabkan perlunya menggunakan pendekatan kualitatif. Ini dilakukan karena data pada situasi sosial tidak mungkin dijaring melalui pendekatan penelitian kuantitatif dengan instrumen seperti kuesioner.

C. Perspektif Teori
1. Wacana
Wacana merupakan padanan dari discourse. Pada mulanya wacana dalam bahasa Indonesia hanya mengacu pada bahan bacaan, percakapan, dan tuturan. Di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia kata wacana digunakan sebagai kata umum. Akan tetapi, istilah wacana ini ternyata mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan. Arifin dan Rani (2000: 3) menyatakan wacana sebagai satuan paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata, dan bunyi.
Cook (dalam Arifin dan Rani, 2000: 4) menyatakan wacana sebagai penggunaan bahasa dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana sebagai penggunaan bahasa lisan dinyatakan dalam bentuk tuturan. Tuturan merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan. Tuturan ini sangat dipengaruhi oleh konteks ketika tuturan tersebut diucapkan. Sedangkan wacana sebagai penggunaan bahasa tulis diwujudkan dalam teks yang berisikan rangkaian proposisi sebagai hasil ungkapan dari ide atau gagasan.  Proses komunikasi pada wacana tulis tidak terjadi secara langsung atau berhadapan. Penutur (penulis) menuangkan ide atau gagasannya dalam kode-kode kebahasaan dalam bentuk kalimat-kalimat. Rangkaian kalimat itu nantinya akan ditafsirkan mitra tutur (pembaca).
Wacana merupakan teks yang pada dasarnya merupakan satuan dari makna. Oleh karena itu, teks harus dipandang dari dua sudut secara bersamaan yaitu sebagai produk dan hasil. Teks sebagai produk merupakan keluaran (output), sesuatu yang dapat diremak atau dipelajari karena mempunyai susunan tertentu dan dapat diungkapkan dengan peristilahan yang sistemik. Sedangkan teks sebagai proses dinyatakan dalam arti bahwa teks tersebut memiliki proses pemilihan makna yang terus-menerus, suatu perubahan melalui jaringan makna, dengan setiap perangkat lebih lanjut.

2. Tindak Tutur
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Richards (dalam Suyono, 1990: 5) yang berpendapat mengenai tindak tutur sebagai the things we actually do when we speak atau the minimal unit of speaking which can be said to have function. Pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh Arifin dan Rani (2000:136) yang menganggap tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan satuan terkecil dari komunikasi bahasa. Chaer dan Agustina (1995:64) lebih mengkhususkan tindak tutur sebagai gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Searle membagi tindak tutur berdasarkan fungsi pragmatis bahasa yang meliputi tindak tutur representatif atau asertif,  tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif. Searle (dalam Syamsuddin, et. al.,1998:97) mengemukakan bahwa tindak tutur representatif merupakan tindak yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu terjadi dengan apa adanya. Misalnya pemberian pernyataan, saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan tindak tutur komisif yaitu tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong  penutur melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan. Sedangkan tindak tutur direktif dianggap sebagai tindak tutur yang mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu.  Selain tidak tutur representatif, komisif, dan direktif juga terdapat tindak ekspresif yaitu tindak tutur yang berkaitan dengan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa tindakan meminta maaf, humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan sebagainya. Tindak ekspresif memiliki fungsi untuk mengekspresikan sikap psikologis pembicara terhadap pendengar sehubungan dengan keadaan tertentu. Tindak tutur yang terakhir yang dikelompokan Searle adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Tindak tutur ini dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan, memecat, dan memberi nama.






Lima fungsi umum dari tindak tutur yang dikemukakan Searle dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel: Lima Fungsi Umum Tindak Tutur
Tindak Tutur
Arah Kesesuaian
S=penutur
X=situasi
Representatif
Komisif
Direktif
Ekspresif
Deklaratif
membuat kata-kata sesuai dengan dunia
membuat dunia sesuai dengan kata-kata
membuat dunia sesuai dengan kata-kata
membuat kata-kata sesuai dengan dunia
kata-kata mengubah dunia
S percaya X
S memaksudkan X
S ingin X
S merasa X
S menyebabkan X

3. Penerapan Tindak Tutur dalam Ragam Informal
Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun, makna suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur seperti yang berlaku dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh karena itu, mungkin sekali dalam setiap tindak tutur penutur menuturkan kalimat yang unik karena adanya usaha untuk menyesuaikan dengan konteksnya. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu.
Tindak tutur pada ragam informal biasanya penggunaan bahasanya lebih santai, akrab, adanya campuran dengan bahasa daerah yang lebih dominan dalam komunikasi, dan penggunaan bahasa saat interaksi itu tidak terlalu menuntut kesantunan bahasa yang berlebihan apalagi jika penutur dan petutur berada dalam satu tingkatan yang sama, baik usia, tingkat dalam keluarga, tingkat ekonomi, maupun tingkat jabatan. Selain itu, pelanggaran terhadap kesantunan bahasa yang digunakan bukan berarti pelanggaran terhadap norma sosial yang berlaku. Hal ini lebih dilatar-belakangi oleh tingkat keakraban dalam interaksi yang sedang berlangsung.
Contohnya:
(1)  Kakak  : Ada pensil kada?
                      (ada pensil tidak?)
Adik    : Ada ai di warung.
                (ada di warung).
Kakak  : Kejauhan, adingku ai.
                (terlalu jauh, adikku).
Adik    : Sini nah ulun tendang, pasti sampai tu.
                (Mari, aku tendang, pasti sampai)

Sepintas percakapan (1) di atas tidak memiliki kesantunan dalam bahasa karena seorang adik terkesan tidak sopan dengan kakaknya. Seharusnya, seorang adik saat ditanya oleh kakaknya diharapkan dapat menjawab sesuai dengan pertanyaan. Namun, dalam wacana di atas adik tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam santun berbahasa. Akan tetapi, hal ini tidak ditandai oleh kakak sebagai suatu yang tidak pantas diucapkan adiknya sebab kedekatan antara kakak dan adik telah menghilangkan perbedaan tingkatan di keluarga. Selain itu, percakapan ini dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan hubungan dengan komunikasi yang santai.
Searle membagi tindak tutur berdasarkan fungsi pragmatis bahasa yang meliputi tindak tutur representatif atau asertif,  tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif.

a.      Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur  representatif merupakan salah satu tindak untuk menyampaikan proposisi yang benar dengan apa adanya untuk memperoleh respons sebagai balasan terhadap apa yang diinginkan penutur. Yang termasuk dalam tindak ini adalah tindak memberi informasi, memberi izin, permintaan ketegasan maksud tuturan, saran, memberi izin, keluhan, dan lainnya.
Penggunaan tindak tutur representatif diilustrasikan oleh penutur yang meyakini kebenaran terhadap apa yang diyakininya. Dengan kata lain, tindak representatif dalam ragam informal menyebabkan penutur membuat kata-katanya sesuai dengan dunia (keyakinan).
Contoh dialog interaktif ragam informal yang termasuk tindak tutur representatif yaitu:

(2)  Linda   : Slam, di mana ikam menyimpan file-ku malam tadi?
                (Slam, di mana kamu menyimpan file-ku malam tadi?)
Aslam  : Buka pang di History. Soalnya malam tadi langsung aku save-kan. Nama file-nya Punya AA PLN. Kalo kadida jua, berelaan ai.
                (Coba buka History. Karena, malam tadi langsung disimpan. Nama file-nya Punya AA PLN. Jika tidak ada relakan saja.)
Linda   :  Bujur-bujur nah. Hari ini handak mahadap ke bos!
                (Yang benar. Hari ini mau menemui bos!)
Aslam  :  Dasar bujur kakaku ai. Buka dulu History, ada kada file yang namanya Punya AA PLN? Mana pernah sih ading pian nih badusta, palingan sesekali za.
                (Memang benar kakakku. Buka dulu Hostory, ada tidak file yang namanya Punya AA PLN? Mana pernah adikmu ini berbohong, hanya sesekali saja.)
Linda   :  Biar sesekali, tapi kalau dikumpulkan jadi berkali-kali adingku ai. Badusta itu dosa, banyak ruginya. Eh, file-nya sudah dapat. Lain kali kalo handak manyimpanakan, namanya yang keren pang. Makasih banyak ya.
                (Meski sesekali, tapi kalau dikumpulkan jadi berkali-kali adikku. Berbohong itu dosa, banyak ruginya. Eh, file-nya sudah ketemu. Lain kali kalau mau menyimpankan, namanya yang keren ya. Terima kasih banyak.)
Aslam  :  Inggih, terima kasih jua nasihatnya lah, tapi jangan kada ingat kaina tagihannya masukan ja ke rekening ulun.
                (Ya, terima kasih juga nasihatny, tapi jangan lupa, nanti tagihannya dimasukkan saja ke rekening saya.)

Dialog (2) merupakan contoh tindak tutur representatif dalam bentuk pemberian informasi, permintaan ketegasan maksud, dan saran. Informasi diberikan karena Linda menanyakan sesuatu yang menyebabkan Aslam menjawab pertanyaan itu dengan memberikan informasi yang jelas yaitu dengan meminta Linda untuk membuka program History kemudian mencari file yang bernama Punya AA PLN. Informasi ini awalnya diragukan oleh Linda sehingga Linda meminta ketegasan “Bujur-bujur nah” yang kemudian direspon Aslam dengan menegaskan informasinya “Dasar bujur kakaku ai” dan mengulang informasi sebelumnya kepada Linda. Pada dialog itu Linda juga memberikan saran kepada Aslam untuk tidak berbohong meski itu hanya sekali karena berbohong itu merupakan dosa dan dapat merugikan. Dalam tuturan ini baik Linda maupun Aslam sama-sama memberikan tuturan sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.
Adapun contoh tindak tutur representatif yang lainnya yaitu dalam bentuk pemberian izin dapat diilustrasikan dalam dialog (3).

(3) Febry   : Ni, wadai siapa di kulkas? Ulun minta lah?
                      (Nek, kue siapa di lemari es? Saya minta ya?)
      Nenek  : Ambil ha sabuting! Padahi wan acil kam, wadai tu di kulkas, ambil kaina habis!
                      (Ambil saja satu! Beritahu tante kamu, ada kue di lemari es, ambil saja nanti habis.)

Dialog (3) menggambarkan tindak tutur representatif yang terdapat dalam bentuk pemberian izin “Ambil ha sabuting”. Izin diberikan nenek untuk mengambil kuenya karena Febry (cucu) menanyakan kepunyaan kue yang ada di lemari es dan ia menginginkan kue tersebut. Sebenarnya pertanyaan yang diajukan oleh Febry tidak memperoleh jawaban secara langsung dari nenek karena Febry menanyakan pemilik kue dan minta izin untuk memakannya. Akan tetapi, jawaban yang berisikan pemberian izin dari nenek “Ambil ha sabuting” telah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Febry karena maksud dari pertanyaan Febry itu sebenarnya adalah permintaan izin. Dengan diberinya izin, Febry menjadi tahu bahwa pemilik kue itu adalah nenek. Dan yang bisa memberikan izin hanya nenek. Dalam hal ini, nenek telah memberikan proposisi yang benar yaitu membuat kata-katanya sesuai dengan dunia (keyakinan).

b.      Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong  penutur melakukan sesuatu sesuai dengan komitmennya yang telah ditetapkannya dalam melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan.
Contoh tindak tutur yang menyatakan janji.

(4)  Aya      :  Teganya, kalau aku diculik kiapa? Iih ha, tapi janji lah jangan padahi awan Nisa-nya!
                      (Teganya, kalau aku diculik, bagaimana? Baiklah, tapi janji ya jangan beritahu Nisa)
      Aslam  : Iih aku janji nah. Janji dua jari, peace.
                      (Iya, aku janji. Janji dua jari, peace)
      Aya      :  Kadonya, HP Nokia.
     
Dialog (4) berisikan tindak tutur komisif dalam bentuk berjanji. Dalam hal ini, Aya mendorong Aslam untuk melakukan apa yang diinginkannya yaitu berjanji. Dan Aslam pun akhirnya mengikuti apa yang diinginkan aya yaitu berjanji tidak akan memberitahukan Nisa isi kado buatnya, “Iih, aku janji nah”. Janji yang ditetapkan Aslam itu akan membuatnya berkomitmen terhadap apa yang dilakukannya pada masa yang akan datang.

c.       Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang mengekspresikan maksud penutur dalam bentuk perintah atau permintaan untuk menghasilkan efek melalui suatu tindakan pada mitra tuturnya. Wujud tindak tutur direktif ini dapat berupa perintah, suruhan, permintaan (permohonan), saran.

(5)  Aslam  :  Aya, padahi kada? Kalau kada mau madahi, kada kuantarkan lagi kuliah nah?
                      (Aya, beritahu tidak? Kalau tidak memberitahu, tidak akan kuantarkan lagi kuliah?)
      Aya      :  Napa, kada dipadahi kaka Linda kah?
                      (Ada apa, tidak diberitahu kakak Linda ya?)

Dialog (5) mengilustrasikan adanya tindak tutur dalam wujud perintah. Perintah dilakukan oleh Aslam pada Aya untuk memberitahukan sesuatu yang ingin diketahuinya. Pada dialog ini Aslam berusaha membuat Aya memberitahukan hal yang ingin diketahuinya itu, “Aya, padahi kada”.
Selain tindak tutur direktif dalam bentuk perintah, juga terdapat tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan. Tindak tutur ini dapat diilustrasikan pada dialog (6).

(6)  Ayah    :  Nak, ketikakan pang surat abah ini! Terserah kam ja, kapankah kalau kada hauran.
                      (Nak, tikan surat Ayah ini! Terserah, kapan saja jika kamu tidak sibuk).
      Aslam  :  Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus.
                      (Maaf Yah, saya lagi mengerjakan TA, besok ada dosennya. Kecuali besok bisa saja setelah dari kampus)

Pada dialog (6) Ayah menggunakan tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan. Ayah meminta Aslam untuk mengetikan surat, “Slam, ketikakan pang surat abah ini!”. Tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan ini mendorong Aslam melakukan apa yang diminta oleh Ayah, meski tidak langsung memenuhi permintaan tersebut, “Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus”.
Tindak tutur direktif dalam bentuk saran juga dapat diilustrasikan dalam dialog (7) berikut ini.

(7)  Aya      :  Mengambil hadiah di bank esok ja gin, selajuran mengurus SKCK di Poltabes. Pas pambulikannya talewati lho?
                      (Mengambil hadiah di bank esok saja ya, sekalian mengurus SKCK di Poltabes. Pulangnya kan melewati?)
      Aslam  :  Lihati ai dulu lah, jadwal konserku padat banar nah. Hehehe. Jam berapa tulaknya?
                      (Lihat dulu ya, jadwal konserku padat sekali. Hehehe. Jam berapa berangkatnya?)

Pada dialog (7) Aya memberikan saran pada Aslam untuk menghemat waktu dalam melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu mengambil hadiah di bank dan mengurus SKCK di Poltabes. Saran ini kemudian diterima oleh Aslam dengan pertanyaan, “Jam berapa tulaknya?”.
Tindak tutur direktif ragam informal dalam dialog yang terjadi di rumah tangga memperlihatkan bentuk-bentuk seperti perintah, permintaan, dan saran. Ketiga bentuk dari tindak tutur direktif ini digunakan oleh penutur dalam usahanya untuk membuat dunia sesuai dengan kata-katanya.

d.      Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berkaitan dengan ekspresi sikap psikologis penutur terhadap petutur sehubungan dengan keadaan tertentu. Tindak tutur ini dapat berupa tindak untuk meminta maaf, humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan lainnya sebagai pernyataan rasa senang, sedih, marah, dan benci.
Contoh tindak ekspresif dalam bentuk permintaan maaf dapat diilustrasikan pada dialog (8)

(8)  Ayah    :  Nak, ketikakan pang surat abah ini! Terserah kam ja, kapankah kalau kada hauran.
                      (Nak, tikan surat Ayah ini! Terserah, kapan saja jika kamu tidak sibuk).
      Aslam  :  Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus.
                      (Maaf Yah, saya lagi mengerjakan TA, besok ada dosennya. Kecuali besok bisa saja setelah dari kampus)

Dialog (8) mengilustrasikan tindak tutur ekspresif dalam bentuk permintaan maaf yang dituturkan oleh Aslam sebagai respons terhadap permintaan Ayah. Pada situasi ini, Aslam membuat kata-kata yang dituturkannya sesuai dengan dunia (perasaan) yaitu ketidakmampuannya untuk membantu Ayah mengetikan surat saat itu juga kecuali di hari yang lain.
Selain tindak tutur ekspresif dalam bentuk permintaan maaf, juga terdapat dalam bentuk memuji dan humor melalui ekspresi senang. Ekspresi ini membuat interaksi dalam komunikasi semakin akrab. Tindak ekspresi ini diilustrasikan dalam dialog (9)


(9)  Ayah    :  Manggawi apa nak?
                      (Mengerjakan apa Nak?)
      Aslam  :  Ma-edit foto pian awan mama. Bagus lah Bah?
                      (Mengedit foto Ayah dengan Ibu. Bagus ya, Yah?)
      Ayah    : Uma ai bagusnya! Diapai foto abah wan mama ikam jadi kawa masuk ke komputer?
                      (Wah, bagusnya! Diapakan foto Ayah dengan Ibu kamu jadi bisa masuk ke komputer?)
      Linda   :  Fotonya dimasukkan ke dalam komputer pakai kunci bule, Bah ai. Makanya pian mancari-cari kunci bule kada sing dapatan lho?
                      (Fotonya dimasukkan ke dalam komputer pakai kunci bule, Yah. Oleh karena itu, Ayah mencari-cari kunci bule tidak bertemu kan?)
      Aslam  : Dasar jua nih, wan abah kaitu lah? Dustainya Bah ai. Ulun me-scan di rental.
                      (Dasar, dengan ayah seperti itu ya? Bohong Yah. Saya me-scan di rental.
      Ayah    : Munyak jua buhan kam badua nih. Lihati tu nah Aya ranai-ranai ja kada abut.
                      (Dasar kalian berdua ini. Coba lihat Aya santai-santai saja, tidak ribut)
      Aslam  :  Mulai tadi takurihing ja. Walkman tu pang di talinga tarus, mudahan ja kada talilit. Uy urangnya Assalammualaikum?
                      (Sedari tadi tersenyum saja. Walkman  itulah yang di telinga terus, mudahan tidak terlilit. Hei orang, Assalamualaikum?)
      Aya      :  Waalaikumsalam, lalui ja cil ai.
                      (Waalaikumsalam, lewati saja Bi).

Tindak tutur ekspresif  dalam bentuk pujian dari Ayah (penutur) kepada Aslam (petutur) terlihat dari ilustrasi dialog (9). Pujian tersebut diilustrasikan dalam tuturan, Uma ai bagusnya!” melalui ekspresi senang dari penutur kepada petutur. Selain itu, dalam interaksi komunikasi itu juga disisipkan lelucon (humor) yang menyebabkan suasana menjadi bertambah akrab dan menyenangkan. Ekspresi yang dilakukan dalam tuturan merupakan ekspresi dari perasaan penuturnya saat itu. Dengan kata lain, penutur membuat kata-kata sesuai dengan dunia (perasaan).



e.       Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Penggunaan tindak tutur deklaratif ini dilakukan oleh penutur untuk mengubah dunia melalui kata-katanya. Tindak tutur deklaratif dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan, memecat, dan memberi nama. Akan tetapi, dalam dialog interaktif ragam informal yang dilakukan dalam situasi santai di rumah tangga tidak ditemui adanya tindak tutur deklaratif.

D.  Simpulan
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Pada wacana interaktif ragam informal yang berlangsung di rumah tangga dalam keadaan santai terdapat tindak tutur seperti tindak tutur representatif atau asertif, tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, dan tindak tutur ekspresif. Akan tetapi tindak tutur deklaratif tidak ditemukan di dalam interaksi komunikasi ragam santai ini. Ini disebabkan situasi yang santai tidak mendukung dilakukannya tindak tutur deklaratif saat itu.

E.  Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul dan Rani, Abdul. 2000. Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Chaer, Abdul dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaniago, Sam Mukhtar., Mukti U.S., dan Maidar Arsyad. 1997. Pragmatik. Pondok Cabe: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Rahardi, R. Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: DIOMA.

Roekhan. 2002. Kegagalan dan Pendayagunaan Maksim Tutur. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 30 (2): 189-208. Malang. Universitas Negeri Malang.

Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajaran. Malang: YA3.

Syamsuddin A.R, Lilis St. Sulistyaningsih, dan Isah Cahyani. 1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.

Yule, George. 1998. Pragmatik. Terjemahan oleh Jumadi. 2006. Banjarmasin. PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.

1 komentar:

  1. Terima kasih. Dokumen Anda saya jadikan salah satu referensi penulisan tesis saya.
    Teruslah menulis. Semoga bermanfaat.

    BalasHapus